Seperti yang disabdakan Rasulullah saw bahwa setiap amal ada masa gesitnya dan disetiap masa gesit itu pasti ada masa lesunya.

“Ana bingung dengan kondisi ana saat ini, ana letih.. tepatnya jiwa ana. Ana seolah-olah terjebak pada lorong yang panjang dan membingungkan. Ana sudah coba muhasabah tapi ana tetap tidak mampu menyikapinya. Ana juga sudah coba bicara dengan saudara yang lain, tapi ana tidak juga menemukan jawaban disitu. Sepertinya tidak ada yang mengerti dengan bi’ah ana. Ana butuh rehat sejenak deh... afwan ya...”




Perjalanan hidup kita di dunia sangatlah singkat. Seperti seorang musafir yang duduk di bawah pohon sekedar beristirahat dan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali. Meskipun singkat, justru banyak yang jatuh disitu. Meskipun singkat, kenikmatan yang sempat direngguk di bawah pohon ternyata mampu melenakan dan menyebabkan si musafir menjadi lupa untuk melanjutkan perjalanannya kembali.
Seperti keluhan diatas, mungkin saja kita termasuk seseorang yang pernah mengungkapkannya, atau bahkan sekarang kita sedang menjadi tokoh utamanya. Namun berapa sering pun mengalaminya, tak sedikit pula yang tak mampu mengambil hikmah dan bangkit ketika kondisi itu melanda. Bukankah hikmah merupakan harta hilang setiap muslim, dimanapun dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya? Atau memang kita yang tidak butuh hikmah tersebut. Dan betapa pun kondisi tersebut sering menghampiri tetap saja tidak menjadikan kita mengenalinya. Ketika telah akut, barulah kita menyadari bahwa kita sedang ‘sakit’. Tentu saja, proses pengobatan akan lebih sulit dibandingkan proses pencegahan atau pengendalian. Ketika hati dilanda kebingungan dan kekalutan yang menyesakkan, kita cenderung ‘lari dan bersembunyi’ dibalik ‘selimut kemalasan’ untuk mengambil jeda (istirahat) dalam berjuang. Kondisi seperti inilah yang sering kita kenal dengan nama ‘futur’.
Menurut Dr. Sayyid Muhammad Nuh, dalam buku Terapi Mental Aktivis Harakah menjelaskan bahwa futur secara bahasa mempunyai arti yaitu: putus setelah bersambung; atau tenang setelah bergerak; atau malas, lambat, pelan setelah rajin dan bersungguh-sungguh. Adapun secara istilah, futur adalah suatu penyakit yang dapat menimpa sebagian aktivis secara fisik (dalam bentuk perbuatan). Tingkatan yang paling rendah dari futur itu sendiri disinyalir berupa kemalasan, berlambat-lambat atau menunda-nunda. Sedangkan puncaknya (tingkatan yang tinggi) adalah terputus atau berhenti sama sekali setelah sebelumnya rajin dan terus bergerak.
Disadari atau tidak, kita seringkali memasuki pintu futur. Langkah kaki tanpa disadari menapaki ruangan futur semakin dalam, tiba-tiba semangat untuk berkarya mulai pudar, ghirah untuk menyelesaikan amanah mulai luntur, lalu mulailah kita menunda-nunda hingga mencapai titik ketidakpedulian (lagi) akan amanah yang diemban.
Beberapa hal yang menjadi penyebab mendasar terjadinya fenomena ‘umum’ ini. Pertama, pemahaman (al-fahm) dan orientasi (ittijab) dakwah yang lemah. Tidak semua kita memahami dan menyadari bahwa jalan dakwah ini (benar-benar) jalan ujian yang berat. Sebagian kita (mungkin) ‘bergabung’ dalam jalan dakwah ini dengan memikirkan hal-hal menyenangkan yang ada didalamnya (saja), seperti ukhuwah yang indah, kondisi ruhiyah maksimal dll, namun tidak pernah menyiapkan diri untuk merasakan ‘pahitnya’ tantangan dalam dakwah ini. Akibatnya ketika dihadapkan dengan kondisi yang ‘tidak mengenakkan’, kita lebih memilih ‘angkat tangan’. Kesadaran akan kondisi ini beranjak dari pemahaman tentang pentingnya persiapan diri. Selain itu, ittijab yang sempurna hanyalah kepada ALLAH SWT. Disini, kita perlu menganalisa setiap saat KEIKHLASAN kita dalam berjuang. Kedua, berlebih-lebihan dalam beramal. Tidak sedikit ikhwan maupun akhwat yang merasa diri ‘hero’ yang mampu menyelesaikan berbagai amalan. Akibatnya tidak jarang kita temui ikhwah menjelma menjadi double agent atau bahkan multi agent. Apabila ‘kelebihan’ ini tidak diimbangi dengan kemampuan manajemen diri dan perencanaan yang bagus, warning bisa menjadi bumerang yang berbahaya. Akan banyak dihadapkan pada benturan-benturan ‘kebutuhan’ amanah yang datang berbarengan. Akibatnya, jiwa tak stabil, dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu kestabilan ruhiyah (yang juga lupa diisi, saking sibuknya). Semangat kerja menurun. Jumud. Mencapai titik kritis dan akhirnya........... Ketiga, lingkungan kerja yang tidak kondusif. Stagnan dalam beraktifitas (terjebak pada mengejar target-target kegiatan). Energi habis terkuras untuk bekerja dan bekerja. Prestasi organisasi diraih, kita justru jatuh pada kelemahan iman yang paling dasar. Tilawah Quran berkurang (dan bahkan pernah hari-hari kita dilalui tanpa dzikr terbesar kedua setelah shalat ini), ibadah harian melemah, Qiyamul lail hilang entah kemana, shaum sunnah terlupakan. Gerbang-gerbang kefuturan pun terbuka dan menunggu untuk dilalui. Keempat, komunikasi internal yang buruk. Disadari atau tidak, seringkali komunikasi internal menjebak kita dalam kelemahan. Bahasa-bahasa yang digunakan, sangat berperan dalam kondisi yang diinginkan. Tidak jarang dalam interaksi dakwah, bahasa-bahasa ammah diserap dengan gamblang. Namun sedikit yang ditimbulkannya. Padahal bahasa selalu menjadi cerminan kondisi kejiwaan setiap manusia. Jika disepelekan maka akan berdampak terhadap kestabilan ruhiyah dakwah. Itulah mengapa Islam memerintahkan kita bertutur kata yang lembut dan ramah. Ketika bahasa-bahasa yang dikeluarkan tidak lagi mampu menjaga kondisi saudara kita, maka kita turut andil dalam kelemahan yang menjangkitinya.
Pemahaman akan pentingnya faktor yang memungkinkan terjadinya kelemahan iman harus disadari. Dari sini kita bergerak untuk tidak terjebak, atau minimal berusaha menghindarinya, membuat pencegahan sebelum terjangkit, mempertinggi ‘antene’ sensitifitas melalui perbaikan amal yaumi sehingga mampu menangkap sinyal-sinyal kefuturan. Wallahu ‘alam bishshawab.
Intanshurullaha yanshurkum wayutsabbit aqdaamakum
“Jalan keluar dan pertolongan berasal dari keimanan dan kerelaan hati.
Kecemasan dan keluh kesah berasal dari keraguan dan amarah”

0 comments: