“Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, dan sabar adalah sinar”.
Bagaimana bisa orang yang memiliki cahaya, bukti dan sinar tidak mengetahui hakikat sesuatu melalui makna tutur kata...


Rasulullah saw mencintai harapan yang baik. Setiap harapan yang baik akan membawa pelakunya ke arah kebaikan. Dan ketika suatu organisasi terbentuk atas dasar harapan yang baik, sudah jelas akan membawa penggeraknya ke arah kebaikan. Apalagi wajihah dakwah yang sudah jelas-jelas berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, yang hasil akhirnya tak lain dan tak bukan adalah kebaikan itu sendiri. Namun di dalam proses berjalannya tentu saja tidaklah penuh dengan kebaikan-kebaikan yang ‘nyata’. Kebaikan yang ada akan tersembunyi di balik setiap cobaan dan rintangan yang sengaja diciptakan Allah swt untuk menyadarkan pelaku kebaikan untuk melihat lebih jauh. Kebaikan apa saja yang ada disekitarnya, dan kebaikan apa saja yang akan membawa berjuta-juta kebaikan yang lain. Untuk itu, dibutuhkan taqwim (evaluasi) secara kesinambungan terhadap beberapa individu atau semuanya di dalam dan di luar barisan, dalam rangka komitmen terhadap Islam.
Sesungguhnya proses taqwim sangat penting dan tidak dapat dihindari. Hal ini karena keragaman kewenangan dan tujuan dalam amaliah, yang menuntut pengenalan tentang individu atau jama’ah. Seperti halnya pengetahuan mengenai mengenai para pendukung, musuh dan tingkatan-tingkatan pemahaman yang berbeda-beda.
Proses taqwim meliputi dua sisi, yaitu :
1. Tawtsiq (Penilaian tentang aspek-aspek positif)
Hal itu terlaksana dengan menilai integritas moral (tawtsiq) seseorang, memujinya pada suatu sisi baik secara non formal. Terkadang pujian diperlukan untuk memotivasi seseorang dalam bergerak. Dianjurkan memuji atas keberanian dan kelebihan yang ada padanya, sekiranya terhindar dari fitnah. Namun demikian, pujian yang dianjurkan bukanlah pujian yang berlebihan yang dapat mendatangkan ujub dan ghurur. Adakalanya pujian juga diberikan dengan tujuan mencegah saudara dari rasa rendah dan tak berdaya. Sehingga dapat memicu semangat dan akselerasi dalam dakwah. Pujian juga bisa dikatakan penghargaan atas perbuatan baik seseorang.
Namun sebaiknya pujian diberikan kepada seseorang yang secara psikologis ‘membutuhkannya’ untuk dapat bergerak, sampai timbul dalam dirinya keikhlasan ‘sejati’. Hal ini dikhususkan pada kader-kader yang baru menapaki medan jihad ini, ada yang membawa ‘mimpi’ yang ingin diwujudkannya atau membawa ‘kebingungan’ akibat ketidak mengertiannya. Maka dibutuhkan murabbi (pembina) yang juga memiliki loyalitas yang tak diragukan lagi (tidak mudah bukan?). Karena untuk menjadi seorang murabbi tidak hanya berbekal retorika, tapi juga ruhiyah yang terjaga. Artinya, bukan murabbi yang dinilai ‘hebat’ karna telah mengikuti jenjang pengkaderan hingga AB 3 dan hanya mampu ngomong doank alias NATO (No Action Talk Only). Tapi yang dibutuhkan adalah AB 3/AB 2 yang mampu memback-up kebutuhan kader, mengevaluasi secara berkala, memberikan solusi dan terpenting adalah adanya perbedaan ruhiyah baik dalam implementasinya dalam sikap, perkataan dan akhlaknya.
2. Jarh (Menilai kelemahan)
Jarh dilakukan dengan menyebutkan beberapa kelemahan atau keburukan seseorang dalam masalah kejiwaan atau ruhani, atau mengkritik tindakan berdasarkan dugaan yang kuat.
Menyebut cela bukanlah ghibah pada enam hal : (1) orang teraniaya oleh penguasa zhalim; (2) meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan pelaku maksiat;(3) memperingati ummah dari perbuatan jahat; (4) menyebut keburukan pelaku fasiq atau bid’ah secara terang-terangan; (5) mengenalkan seseorang bukan dengan tujuan menghinanya dan (6)menyebutkan keburukan seseorang tanpa menyebut nama untuk meminta fatwa agar bisa menasehatinya.
Namun yang ada sekarang bagai jauh panggang dari api. Wajihah dakwah yang seharusnya mendakwahkan hal ini kepada ammah, justru sering terjebak dalam rutinitas ghibah.
Misalnya, ketidaksepakatan dalam sesuatu hal akan membawa ikhwah berghibah, menjelek-jelekkan saudaranya sendiri (yang digambarkan Allah seperti memakan daging saudara sendiri). Hal ini ‘selalu’ kita lakukan dengan alasan curhat atau apalah namanya. Namun hasil dari curhat itu sendiri justru memperlihatkan ‘kebencian’ yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Hasil curhat itu sendiri (terkadang) malah menambah jumlah saudara yang membenci, karna ‘termakan hasut’ dari pengghibah.
Akan lebih baik kan apabila kita tidak menyepakati sesuatu, mencari cara yang paling save menurut kita? Aman untuk kedua belah pihak, dari berbagai sisi. Ada yang memilih menyampaikan langsung (syarat : tidak berkhalwat); ada yang lebih memilih lewat surat (karna tidak berani bicara langsung); atau melalui sindiran, sikap atau yang lain, yang penting ketidaksepakatan memiliki sarana untuk dapat disalurkan kepada saudara yang tidak disepakati. Satu hal yang penting, adalah etika dalam penyampaian. Akhlak dalam mengkritik dan dikritik menurut Islam mestilah terjaga.

Sekali lagi, ana ingin mengingatkan bahwa :
“Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, dan sabar adalah sinar”.
Bagaimana bisa orang yang memiliki cahaya, bukti dan sinar tidak mengetahui hakikat sesuatu melalui makna tutur kata...
Bersikap tegas dalam prinsip aqidah dan bertoleransi serta bersabar atas apa yang tidak disepakati sesama saudara. Terkadang kita malah lebih sering bertoleransi pada ammah dengan alasan kefahaman mereka, hal ini penting. Namun yang tak kalah penting, mengapa dengan saudara seperjuangan, kita malah bersitegang urat leher dan berjidal untuk hal-hal ‘remeh’ seperti egoisme pribadi, prinsip pribadi, dan tetek bengek lainnya.
Apakah ikhwah tidak menginginkan wajihah dakwah yang bernama KAMMI ini diberkahi Allah swt karna personil didalamnya mampu menjaga keimanannya, ruhiyahnya, terhindar dari hal-hal subhat, terjaga dari hal-hal yang meringan-ringankan namun juga tidak memberat-beratkan?
Kesabaran bukti keimanan. Iman yang kan menjawab seluruh fitnah. Jangan banyak menyangkal dan repot menjawab untuk membersihkan diri dari tuduhan. Karna sangkalan bukanlah sebuah jawaban atas permasalahan, malah sangkalan hanya akan membuka fakta lebih nyata dari sebelumnya.
Semoga ALLAH SWT berkenan mengakhiri hidup kita dengan syahid dan kelak mengizinkan mujahid dan mujahidah dakwah umumnya, mujaddid dan mujaddidah KAMMI khususnya untuk memasuki salah satu pintu Jannah-NYA bersama rombongan para syuhada. Amin.

Kalian adalah ruh dalam tubuh ummat ini. “Antum ruhul jadiid fii jasadil ummah”. Begitu Imam Hasan al-Banna mendefinisikan diri kalian. Ummat ini seperti raga. Hidup dan matinya umat tergantung kepada keberadaan ruh.
Karakter ummat inipun tergantung pada ruh tersebut.



Wahai para pembaharu dakwah! Apakah kita tergolong generasi yang menyambut seruan itu? Apakah kita berani berkata “saya adalah bagian penyusun dari ruh itu”. Ruh yang membawa perubahan bagi ummat. Ruh yang didambakan kehadirannya oleh seluruh makhluk Allah di penjuru alam ini? Ruh yang menjadi tumpuan siang dan malam?
Maka, marilah berkaca wahai prajurit yang didambakan, yang dinantikan dan menanti kemenangan! Seperti apa wajah kita hari ini? Seperti apakah isi otak kita hari ini? Seperti apakah kata-kata yang keluar dari bibir kita hari ini? Seperti apakah isi hati kita hari ini? Kitakah yang wajahnya dipenuhi kebusukan, kepura-puraan lalu mengaku menjadi juru penyelamatan? Kitakah yang otaknya tidak lebih dari egoisme pribadi dan impian duniawi lalu menyangka diri telah menjadi pahlawan kebenaran? Kitakah yang bibirnya selalu memuji diri sendiri dan mengungkapkan cinta busuk kemudian menjelma menjadi penentu nasib ummat? Kitakah yang isi hati nuraninya dipenuhi manipulasi dan kecintaan semu lalu mengaku orang yang prihatin dengan nasib ummat?
Berkacalah sekali lagi! Apakah kita memang pantas berjalan di jalan mulia dengan kondisi diri seperti ini. Tahukah kita bahwa ini adalah jalan para Nabi dan Rasul, manusia-manusia mulia yang pernah Alah SWT hadirkan di muka bumi? Ditangan merekalah kemenangan dan kejayaan Islam menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan. Mereka generasi terbaik yang berhasil membangkitkan izzah ummat. Merekalah GENERASI HARAPAN.
GENERASI RABBANI YANG IKHLAS
Merekalah yang disiplin menjaga kestabilan ruhiyah, modal utama mereka berjuang.
Orientasi mereka sangat jelas dan tegas, semuanya hanya untuk Allah saja. Sehingga hatinya pun dijaga Allah, yang ada hanyalah bisikan kebenaran, Allah membuat hati mereka mampu menfilter antara yang haq dan yang bathil.
Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah seorang muslim
(QS. 6:162-163)
Janji inilah yang selalu diingatnya sepanjang hari, disetiap denyut dan hembusan nafasnya. Mereka selalu menjaga agar jangan sampai ada satu hirupan nafas pun yang dipergunakan kepada selain Allah ‘azza wa jalla.
GENERASI YANG SELALU BERDAKWAH DAN BERJIHAD
Biarlah surga jadi tempat istirahatku nanti, begitu Khalifah Umar bin Abdul Al-Azis menuturkan. Bumi bagi mereka laksana medan tempur yang tiada henti.
Merekalah yang hatinya peka merasakan penderitaan saudaranya, bahkan di tempat yang jauh sekalipun darinya. Otaknya yang selalu berputar untuk menemukan solusi hebat untuk membebaskan ummat dari kesengsaraan karena mengikuti jalan-jalan thoughut. Mereka generasi harapan Islam yang mantap, teladan dalam kebaikan, selalu mengutamakan kesadaran sehingga mereka selalu tampil dalam setiap kesulitan sebagai juru selamat.
Sikap mereka lemah lembut dan berkasih sayang kepada ummat. Belajar kepada ulama dengan penuh kesungguhan. Dilain sisi, mereka mengajari dengan kesabaran. Merekalah penyambung lidah ummat, yang tidak pernah jemu ketika menghadapi sesuatu yang membosankan dan penuh kesulitan. Jiwa mereka mudah terpanggil mendengar jeritan ummat yang meradang. Tidur mereka belum akan nyenyak jika masih didengarnya jeritan penderitaan ummat. Hatinya mudah tersentuh dengan matanya mudah menangis bila di depan matanya masih terhampar kezaliman, sementara merasa diri belum mampu melakukan apa-apa. Hanyalah Allah sajalah tempat dia mengadu.
HAYYA ALAA AL-FALAH
Silahkanlah menangis bagi mereka yang kehilangan umurnya dalam keadaan bathil. Karena baginya tidak ada tempat yang baik di akherat kelak
(Syekh Yusuf Qaradhawi, Jil Annasiir Al-Mansyud)
Generasi inilah yang akan membawa turun kemenangan dari Allah SWT. Merekalah yang akan mengibarkan bendera Allah di bumi yang megah ini. Yang akan menyebarkan dien dan hukum Allah, kemudian menegakkannya dengan kokoh. Allah memilih tangan mereka untuk menjaga agama-Nya.
Dan kita yang telah di beri Allah hidayah imaniyah, akankah mengikuti jejak mereka? SILAHKAN BAGI KALIAN YANG MASIH INGIN DUDUK SANTAI, SEBAGAI PENONTON MENYAKSIKAN KEHANCURAN SEDIKIT DEI SEDIKIT. SILAHKAN HIDUP BERBAUR DALAM KEBATHILAN. SEMUA TERSERAH KALIAN. INGAT, DUNIA HANYA RUMAH SINGGAH!!
Intanshurullaha yanshurkum wayutsabbit aqdaamakum

“Maka Allah SWT menangkan siapa saja yang membela agamanya. Sesungguhnya Allah itu Maha Kuat lagi Maha Suci”

Seperti yang disabdakan Rasulullah saw bahwa setiap amal ada masa gesitnya dan disetiap masa gesit itu pasti ada masa lesunya.

“Ana bingung dengan kondisi ana saat ini, ana letih.. tepatnya jiwa ana. Ana seolah-olah terjebak pada lorong yang panjang dan membingungkan. Ana sudah coba muhasabah tapi ana tetap tidak mampu menyikapinya. Ana juga sudah coba bicara dengan saudara yang lain, tapi ana tidak juga menemukan jawaban disitu. Sepertinya tidak ada yang mengerti dengan bi’ah ana. Ana butuh rehat sejenak deh... afwan ya...”




Perjalanan hidup kita di dunia sangatlah singkat. Seperti seorang musafir yang duduk di bawah pohon sekedar beristirahat dan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali. Meskipun singkat, justru banyak yang jatuh disitu. Meskipun singkat, kenikmatan yang sempat direngguk di bawah pohon ternyata mampu melenakan dan menyebabkan si musafir menjadi lupa untuk melanjutkan perjalanannya kembali.
Seperti keluhan diatas, mungkin saja kita termasuk seseorang yang pernah mengungkapkannya, atau bahkan sekarang kita sedang menjadi tokoh utamanya. Namun berapa sering pun mengalaminya, tak sedikit pula yang tak mampu mengambil hikmah dan bangkit ketika kondisi itu melanda. Bukankah hikmah merupakan harta hilang setiap muslim, dimanapun dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya? Atau memang kita yang tidak butuh hikmah tersebut. Dan betapa pun kondisi tersebut sering menghampiri tetap saja tidak menjadikan kita mengenalinya. Ketika telah akut, barulah kita menyadari bahwa kita sedang ‘sakit’. Tentu saja, proses pengobatan akan lebih sulit dibandingkan proses pencegahan atau pengendalian. Ketika hati dilanda kebingungan dan kekalutan yang menyesakkan, kita cenderung ‘lari dan bersembunyi’ dibalik ‘selimut kemalasan’ untuk mengambil jeda (istirahat) dalam berjuang. Kondisi seperti inilah yang sering kita kenal dengan nama ‘futur’.
Menurut Dr. Sayyid Muhammad Nuh, dalam buku Terapi Mental Aktivis Harakah menjelaskan bahwa futur secara bahasa mempunyai arti yaitu: putus setelah bersambung; atau tenang setelah bergerak; atau malas, lambat, pelan setelah rajin dan bersungguh-sungguh. Adapun secara istilah, futur adalah suatu penyakit yang dapat menimpa sebagian aktivis secara fisik (dalam bentuk perbuatan). Tingkatan yang paling rendah dari futur itu sendiri disinyalir berupa kemalasan, berlambat-lambat atau menunda-nunda. Sedangkan puncaknya (tingkatan yang tinggi) adalah terputus atau berhenti sama sekali setelah sebelumnya rajin dan terus bergerak.
Disadari atau tidak, kita seringkali memasuki pintu futur. Langkah kaki tanpa disadari menapaki ruangan futur semakin dalam, tiba-tiba semangat untuk berkarya mulai pudar, ghirah untuk menyelesaikan amanah mulai luntur, lalu mulailah kita menunda-nunda hingga mencapai titik ketidakpedulian (lagi) akan amanah yang diemban.
Beberapa hal yang menjadi penyebab mendasar terjadinya fenomena ‘umum’ ini. Pertama, pemahaman (al-fahm) dan orientasi (ittijab) dakwah yang lemah. Tidak semua kita memahami dan menyadari bahwa jalan dakwah ini (benar-benar) jalan ujian yang berat. Sebagian kita (mungkin) ‘bergabung’ dalam jalan dakwah ini dengan memikirkan hal-hal menyenangkan yang ada didalamnya (saja), seperti ukhuwah yang indah, kondisi ruhiyah maksimal dll, namun tidak pernah menyiapkan diri untuk merasakan ‘pahitnya’ tantangan dalam dakwah ini. Akibatnya ketika dihadapkan dengan kondisi yang ‘tidak mengenakkan’, kita lebih memilih ‘angkat tangan’. Kesadaran akan kondisi ini beranjak dari pemahaman tentang pentingnya persiapan diri. Selain itu, ittijab yang sempurna hanyalah kepada ALLAH SWT. Disini, kita perlu menganalisa setiap saat KEIKHLASAN kita dalam berjuang. Kedua, berlebih-lebihan dalam beramal. Tidak sedikit ikhwan maupun akhwat yang merasa diri ‘hero’ yang mampu menyelesaikan berbagai amalan. Akibatnya tidak jarang kita temui ikhwah menjelma menjadi double agent atau bahkan multi agent. Apabila ‘kelebihan’ ini tidak diimbangi dengan kemampuan manajemen diri dan perencanaan yang bagus, warning bisa menjadi bumerang yang berbahaya. Akan banyak dihadapkan pada benturan-benturan ‘kebutuhan’ amanah yang datang berbarengan. Akibatnya, jiwa tak stabil, dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu kestabilan ruhiyah (yang juga lupa diisi, saking sibuknya). Semangat kerja menurun. Jumud. Mencapai titik kritis dan akhirnya........... Ketiga, lingkungan kerja yang tidak kondusif. Stagnan dalam beraktifitas (terjebak pada mengejar target-target kegiatan). Energi habis terkuras untuk bekerja dan bekerja. Prestasi organisasi diraih, kita justru jatuh pada kelemahan iman yang paling dasar. Tilawah Quran berkurang (dan bahkan pernah hari-hari kita dilalui tanpa dzikr terbesar kedua setelah shalat ini), ibadah harian melemah, Qiyamul lail hilang entah kemana, shaum sunnah terlupakan. Gerbang-gerbang kefuturan pun terbuka dan menunggu untuk dilalui. Keempat, komunikasi internal yang buruk. Disadari atau tidak, seringkali komunikasi internal menjebak kita dalam kelemahan. Bahasa-bahasa yang digunakan, sangat berperan dalam kondisi yang diinginkan. Tidak jarang dalam interaksi dakwah, bahasa-bahasa ammah diserap dengan gamblang. Namun sedikit yang ditimbulkannya. Padahal bahasa selalu menjadi cerminan kondisi kejiwaan setiap manusia. Jika disepelekan maka akan berdampak terhadap kestabilan ruhiyah dakwah. Itulah mengapa Islam memerintahkan kita bertutur kata yang lembut dan ramah. Ketika bahasa-bahasa yang dikeluarkan tidak lagi mampu menjaga kondisi saudara kita, maka kita turut andil dalam kelemahan yang menjangkitinya.
Pemahaman akan pentingnya faktor yang memungkinkan terjadinya kelemahan iman harus disadari. Dari sini kita bergerak untuk tidak terjebak, atau minimal berusaha menghindarinya, membuat pencegahan sebelum terjangkit, mempertinggi ‘antene’ sensitifitas melalui perbaikan amal yaumi sehingga mampu menangkap sinyal-sinyal kefuturan. Wallahu ‘alam bishshawab.
Intanshurullaha yanshurkum wayutsabbit aqdaamakum
“Jalan keluar dan pertolongan berasal dari keimanan dan kerelaan hati.
Kecemasan dan keluh kesah berasal dari keraguan dan amarah”

Sungguh menakjubkan keadaan orang beriman itu karena semua keadaanny baik melulu. Hal seperti itu tidak akan didapati kecuali pada orang yang beriman. Yaitu apabila memperoleh nikmat karunia ia bersyukur dan bersyukur itu baik baginya. Bila ditimpa kesusahan ia bersabar dan sabar itu baik baginya.
Tak berlebihan kalo dikatakan bahwa syukur dan sabar adalah kunci kehidupan. Kedua sifat tersebut dapat memformat kita untuk selalu berada dalam koridor keridhoan Allah.



Bersyukur berarti menyadari realitas kehidupan bahwa betapa tak terhingganya nikmat dan karunia yang dicurahkan Allah kepada kita. Tentu saja rasa syukur itu tidak cukup dengan hanya dilafalkan dengan ucapan “alhamdulilah” tetapi juga harus ditampakakan dalam realita kehidupan kita yak ni berupa pengabdian kepada Yang Maha Pemberi karunia dan kenikmatan.
Bersabar berarti menyadari bahwa segala sesuatunya berada di bawah kendali kekuasaan Allah. Kita tidak memiliki kemampuan untuk mencegah dan menolak setiap musibah sehingga harus menerima itu semua sebagai ujian dan cobaan dari-Nya.
Etasale sejarah keteladanan Nabi Sulaiman, Nabi Ayyub dan nabi-nabi yang lain adalah patron kehidupan. Memang sudah terlalu sulit menemukan manusia-manusia seperti mereka di jaman sekarang ini. Namun paling tidak kita dapat menganut prinsip-prinsip kesyukuran dan kesabaran seperti yang dimiliki nabi-nabi.
Di dunia ini, setan senantiasa memberi iming-iming yang tampaknya begitu indah. Firman Allah SWT, “Setan berkata, ‘Disebabkan Engkau telah memvonis aku sebagai makhluk sesat. Aku akan hiasi apa yang ada di dunia ini sampai manusia memandang baik kemaksiatan dan aku akan menyesatkan semua orang kecuali orang yang telah mengikhlaskan dirinya.”(Hijr : 39)
Beragam hiasan di dunia ini mempunyai daya tarik yang luar biasa padahal yang diperlukan untuk kehidupan fana ini sebenarnya sangatlah sedikit. Pakaian, makanan, kendaraan dan sejenisnya yang sangat terbatas jumlahnya. Tapi kenapa kita terlalu serakah ingin memiliki semuanya?itu berarti ada dorongan dan desakan dari luar diri kita. Kalau semua tuntutan itu kita penuhi pada akhirnya akan menyiksa diri kita sendiri. Itulah yang banyak kita lihat sekarang ini. Ketika ada kesempatan memperoleh banyak harta, disergapnya habis-habisan tanpa menyadari bagaimana seharusnya kita fungsikan harta itu. Jadilah ia orang kaya yang memanfaatkan harta hanya semata-mata untuk menyalurkan nafsu setannya. Pada akhirnya orang semacam ini biasanya akan tenggelam dalam lembah kemesuman atau masuk penjara karena kejahatan yang telah dilakukannya.
Sehingga sudah sepatutnya kita merenungkan kembali apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT , “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik sekali bagimu dan boleh jadi kamu menyenangi sesuatu padahal itu amat buruk bagimu.” (Al baqarah : 26)
(wafa)

Baru merasa kehilangan ketika sesuatu sudah tidak berada dalam genggaman

Banyak hal yang tidak kita sadari begitu berharga dalam hidup ini, sampai ketika dia sudah tidak mungkin diraih, atau pada saat hanya sedikit sekali kemungkinan itu ada. Barulah penyesalan begitu terasa berat......



Sebagai contoh, ada seorang bapak yang sangat tidak peduli dengan anaknya ketika anak itu masih dalam naungannya. Ketika terjadi perceraian dengan sang istri, yang menyebabkan anaknya ‘dibawa pergi’ istri. Barulah perasaan kehilangan, cinta kasih dan tangis penyesalan mengharu biru. Dan baru disadarinya bahwa dia begitu mencintai anaknya.

Atau, ketika kita kehilangan sedikit saja waktu yang ternyata sangat penting dan pada saat itu kita berharap waktu bisa di tambah sedikit saja. Tapi semua hanya sia-sia saja…karna dia telah berlalu.

Atau ketika kita sering bersiteru dengan saudara sendiri untuk hal sangat sepele dan menjadi sangat besar karna sudah melibatkan ego dan kepentingan pribadi. Ketika dia (saudara kita itu) sudah pergi menjauh dari kita, barulah hal yang kita lalui dulu menjadi kenangan pahit yang sangat ingin kita lupakan.


Surat Buat Bunda

Assalamu'alaikum wr wb ibundaku tersayang.....
apakah kabarmu baik-baik saja hari ini. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada mu. Tak kenal waktu...selamanya. Amin.

Ibunda...
aku teringat dengan percakapan kita malam kemarin. Cerita lucu tentang aku dan kau ketika masaku kecil dulu...ini aku tuliskan untukmu wahai bunda, sebagai ungkapan terimakasihku yang tak terkira...

aku adalah anak yang cerdas, katamu (mungkin sedikit membuatku tersipu..ah, yang bener nih???kok sekarang nggak ada bekasnya ya?? hehe..). Aku semenjak lahir hingga berumur 1 tahun 3 bulan, selalu bisa melaksanakan semuanya sendiri..(maksudnya langsung bisa makan, mandi, berlari, bermain gitu???) Bukan pemirsa, maksudnya aku tidak pernah diajarkan bagaimana telungkup, merangkak, duduk sampai belajar berjalanpun aku sendiri..aku mengerjakannya langsung, tanpa ada bantuan tangan dari ibundaku untuk menelungkupkan, mendudukan ataupun menatahkan...hebat yach (hehe..muji diri sendiri)
Aku termasuk anak yang pendiam katamu...tidak rewel, tidak banyak tingkah alias aku anak baik-baik...(hehe...amin)



Hingga musibah itu melanda...
ketika aku berumur 1 tahun 3 bulan itu, aku dimunisasi di puskesmas terdekat di padangpanjang tempatku dilahirkan. Maklumlah, seperti anak balita pada umumnya untuk antipolio. Seminggu setelah penyuntikan itu, engkau sangat heran karna pada bekas suntikan di kakiku sebelah kiri tampak membiru sebesar telapak tangan. tapi karna tidak melihat perubahan pada diriku, aku masih ceria, bermain, berjalan-berjalan seperti biasanya. Engkau tidak membawaku ke Rumahsakit, tapi hanya mengompres bagian yang mulai menghitam itu dengan nasi panas yang dibungkus daun pisang.
Belum cukupku berumur 1 tahun 4 bulan, artinya belum genap 1 bulan ku pandai berjalan, kita pindah rumah ke padang karna ayahanda pindah tugas. Ketika dipadang pun aku masih bisa berjalan seperti biasanya..hingga pada suatu pagi saat aku dimandikan olehmu...
Engkau memintaku untuk berdiri agar mudah dimandikan, tapi setiap aku diberdirikan, setiap itu pula aku duduk tersimpuh kembali...engkau sangat heran karna tadi malam aku masih bisa berlari mengejar ayahanda yang baru pulang kerja dan mulai ketakutan, sambil terus mencoba agar aku bisa berdiri..namun usahamu tetap tak berhasil..aku lumpuh total..
Kemudian dibawalah aku ke Rumahsakit, baru disana ketahuan kalau jarum suntik yang digunakan saat aku diimunisasi dulu TEPAT mengenai otot pergerakanku, sehingga otot tersebut membengkok dan mengecil.

Engkau pasti sangat sedih ibundaku sayang....
tatkala melihatku memindahkan kaki itu dengan tanganku karna ketidakberdayaan kakiku untuk memindahkan sendiri. tatkala aku harus belajar berjalan lagi hingga umur hampir 3 tahun..meski tak sempurna, alhamdulillah aku telah bisa menginjakkan kakiku lagi kebumi..
tapi tentu usahamu tak hanya sampai disana..
segala obat engkau coba, mulai dikemoterapi, meminum obat dokter sampai tukang urut,dukun dan paranormal (aku faham bunda, engkau mungkin belum tau bahwa Allah melarang itu. Tapi karna cintamu padaku begitu besar, engkau mencoba seluruh cara yang ada) yang apabila dihitung mungkin sudah mencapai puluhan atau mungkin ratusan. Karna dimanapun ada orang yang menyampaikan disana aku bakal bisa disembuhkan, engkau bersama ayahanda selalu mencobanya. Pengobatan itu berlangsung hingga aku berumur 16 tahun, ketika aku duduk dikelas 2 SMU. sampai aku mengerti bahwa pengobatan lewat paranormal itu dilarang..
Engkau takkenal lelah wahai bundaku sayang... hampir 15 tahun engkau jambangi kegiatan itu dengan tujuan agar aku bisa berjalan normal kembali..
Engkau bercerita bahwa aku menjadi sangat..sangat..penangis semenjak kejadian itu. Tingkahlakuku jadi aneh dan menyebalkan, sehingga sering merepotkanmu..

Namun, bertambahnya usiaku dan bertambahnya pengetahuanku membuatku menentang praktek perdukunan itu. aku tidak mau lagi berobat ke sana kemari seperti dulu..aku bersikeras bahwa aku sudah bersyukur bisa berjalan meskipun tidak sempurna.
Tapi ibundaku sayang....
mungkin carakulah yang sangat tidak wajar sebagai anak membuatmu merasa tersinggung dan marah. Aku menjadi anak yang dianggap 'palawan' dan 'pembangkang', sekaligus 'tidak tau terimakasih'.
Ibundaku sayang...maafkanlah atas kesalahan kata-kataku, kesalahan prilakuku, kesalahan semua yang ada pada diriku selama ini..
Aku sangat mencintaimu dan sangat bersyukur memiliki ibunda sepertimu..karna tak ada ibunda didunia ini yang sepertimu, hanya engkaulah satu-satunya..

Bunda...
meski dengan surat seperti ini, bukan berarti aku telah menebus semua pengorbananmu, semua jasamu, dan bahkan setiap tetes air matamu dalam membesarkanku saja belum mampu aku balas.

Hingga kini bunda..
Aku tau engkau masih menangis diam-diam. Mengharapkan kebahagiaanku di dunia dan akhirat..Aku tau bunda, dalam sujud panjang mu di tengah malam engkau sering terisak..

Allah...begitu besar perjuangan ibundaku tersayang untuk ku, untuk anak-anaknya..
Jangan jadikan kami anak yang tak berbakti, karna prediket anak sholeh/ah itu belum kami dapatkan hingga kini. Kami masih saja menelantarkan perasaannya yang sangat halus dan peka itu...

Allah bangunkanlah sebuah rumah terindah untuk kedua orangtuaku di Jannah Firdausmu ya Rabb..aku ingin melihat beliau berdua saling berpegangan tangan untuk memasuki gerbang kemenangan hakikinya kelak..
Amin..

;;